Bahasa

Melihat Pernikahan dari Sisi Lain

Sebelum gue masuk pembahasan alangkah bagusnya gue ngasih pernyataan bahwa gue sama sekali tidak menyangkal atau membantah tentang sisi positif nikah muda. Tapi, di postingan ini gue mau membahas pernikahan bukan dari sisi agama, melainkan sisi rasionalitas yang sangat relevan dewasa ini.

Pernikahan merupakan gerbang sakral dalam menempuh cinta yang mempunyai legaliltas agama, kesusilaan, dan hukum positif. Kampanye nikah muda juga banyak dilakukan oleh ustadz-ustdaz di pelbagai media. Tapi, kemarin pas mata kuliah reading gue dan temen-temen dapet pernyataan yang sangat berbalik dengan apa yang dijanjikan ustadz-ustadz tersebut.

Sebut saja Mr. Rusdi, dosen grammar semester satu yang bisa diaktakan jenius. Sangking jeniusnya, kita  mahasiswa, yang awam sering tidak mampu memahami apa yang beliau sampaikan. Walaupun dosen grammar tapi tidak serta-merta ia hanya menyampaikan materi grammar yang dengan jujur gue sebut sebagai sesuatu hal yang membosankan. Ia seringkali memberi pedoman hidup yang begitu humanis. Sangat penting bagi kawula muda yang dikungkung kekuatan bernama hedonisme dan matrelialisme. Materi yang pernah begitu menarik adalah mengenai selera orang dewasa ini yang sudah dikontrol oleh pemilik modal. Nasehatnya sangat mudah dicerna kumpulan anak hampir duapuluhtahunan yang kebanyakan menjadi hamba bagi mode.

Materi yang satu ini begitu bijak, meski jika orang-orang memahami secara dangkal mungkin akan menganggapnya liberal atau apalah, anti sunnah mungkin secara sarkasme. Tapi, bagi mereka yang berpikiran luas (gue termasuk) akan berpikir bahwa dosen critical reading di semester dua ini sebagai pencerah di kala romansa menjadi tujuan.

Mr. Rusydi memberi pandangan yang sangat berbalik dengan ustadz-ustadz penyeru nikah muda. Beliau menutukan bahwa pernikahan merupakan jebakan seumur hidup, “Bayangkan! Kita hidup bersama dengan orang yang sama seumur hidup! Seumur hidup!” Ia memberi penekanan pada kata seumur hidup. “Kita harus hidup bebas dulu, lah! Minimal sampai 28 tahun, syukur 30 tahun.” Menurutnya pernikahan tidaklah seindah kala masa pacaran. Jika dulu semasa pacaran setiap saat ditanya sedang apa, di mana, lagi apa, sudah makan apa belum, atau pertanyaan unfaedah namun indah lainnya, tetapi kala setelah menikah tidaklah romantis. Sering terjadi seseorang cowo akan menjadi ajudan istri yang setiap saat dipanggil istrinya. Beliau juga mengingatkan akan gaya berpacaran kawula muda jaman now yang sering kebablasan. Nasihatnya, jangan sampai melakukan hubungan seks pra-nikah. Karena setelah itu dilakukan, kita mau tidak mau harus menikah dengan cewe yang mungkin hanya sesaat kita cintai.

Pernikahan juga mau tidak mau harus menghambat atau bahkan memberhentikan karir salah satu pasangan. Alasannyapun sangat adiluhung, jika kita menyewa baby sitter berpendidikan rendah untuk mengasuh anak kita, mau jadi apa mereka? “Bayangkan! Bapak ibunya sarjana, S2, bahkan doktor. Tetapi anaknya diasuh seorang lulusan SD? Mau jadi apa anak kita?” Sungguh pemikiran yang sangat elegan dan beralasan. Tidak salah beliau gue denger sebagai salah satu dosen yang sangat disayangi kampus.

So, gue mendapat pencerahan yang sangat cerah mengenai pernikahan. “Jangan terburu-buru menikah! Menikahlah setelah engkau siap! Dan nikmati masa mudamu, karena ia takkan pernah kembali! Thanks!

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *